Senin, 24 Januari 2011

Pengetahuan Tentang Tanaman Obat

Ada semacam kealpaan dari sebagian ilmuwan atau akademisi yang telah selesai menempuh studi di luar negeri. Kealpaan itu adalah mereka yang menyerap ilmu dari Barat, sekembalinya di Tanah Air, melupakan dan mengabaikan pengembangan pengetahuan lokal tradisional, semisal tumbuh- tumbuhan obat atau ragam bahan pangan pokok.
Inilah kegalauan yang diungkap Ervizal AM Zuhud (51). Agustus tahun lalu, ia menerima pengukuhan sebagai profesor di bidang konservasi tumbuhan obat tropika di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
”Profesor bidang konservasi tumbuhan obat tropika mungkin yang pertama di Indonesia,” kata Ervizal, yang akrab dipanggil Doktor Amzu di Kampus IPB Dermaga, Bogor.
Sebagai dosen sekaligus peneliti di IPB, Ervizal berkecimpung dalam kegiatan riset etnobotani masyarakat tradisional di pelbagai pedalaman Indonesia.
Sejak 2009, Ervizal merintis Kampung Konservasi Taman Tumbuhan Obat Keluarga di Kampung Gunung Leutik, Ciampea, Bogor, dengan 237 spesies tumbuhan obat. Ketertarikan Ervizal memang terpusat pada mekanisme kearifan lokal dalam pemanfaatan aneka tumbuhan obat.
”Tumbuhan obat memainkan peran penting bagi kemandirian masyarakat tradisional kita,” ujar Kepala Bagian Konservasi Keanekaragaman Tumbuhan, Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB itu.
Dari kegiatan para periset etnobotani di Indonesia menunjukkan, 34 etnis menggunakan 78 spesies tumbuhan obat untuk mengobati malaria. Sebanyak 30 etnis menggunakan 133 spesies tumbuhan obat untuk mengobati demam, kemudian 110 spesies tumbuhan obat untuk mengobati gangguan pencernaan.
Hal itu pula yang menyadarkan Ervizal pada tahun 1992 untuk mendirikan Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. Ini seiring memudarnya pengetahuan tentang tumbuhan obat itu sendiri oleh sebagian besar masyarakat kita.
Kedawung atau petai hutan
Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr) yang ditunjuk Ervizal sebagai tumbuhan obat terpenting di Jawa, sekarang sudah langka. Kedawung merupakan pohon raksasa berbatang besar dan lurus, yang juga dikenal sebagai petai hutan.
Pemanfaatan kedawung mulai dari akar, daun, dan buahnya sebagai penguat lambung, yang mencegah dan mengobati gangguan pencernaan. ”Masyarakat Jawa pada masa lalu banyak mengonsumsinya, tetapi sekarang tidak,” kata Ervizal.
Ervizal selama 8 tahun sejak 1992 menerima dana 600.000 dollar AS dari MacArthur Foundation untuk meriset tumbuhan obat, terutama kedawung di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Pohon itu adalah penaung paling tinggi yang keberadaannya makin langka.
Manfaat kedawung beragam. Daunnya bisa untuk obat sakit perut. Bijinya bermanfaat untuk gangguan rasa sakit, seperti nyeri haid, nyeri sebelum bersalin, demam nifas, kolera, sakit perut, mulas, masuk angin, antidiare, karminatif, borok, kudis, sakit pinggang, sakit jantung mengipas, cacingan, radang usus, dan cacar air. Kulitnya juga untuk mengobati kudis. Biji kedawung yang ditumbuk bisa dijadikan sebagai sampo.
Ervizal lalu merekomendasikan kedawung agar dijuluki sebagai pohon raja obat-obatan hutan. Tanggapan pemerintah mudah diraba: tak pernah ambil pusing!
Daun kepayang
Ada istilah Melayu, ”mabuk kepayang”. Istilah itu diambil ketika orang menjadi lunglai atau gontai setelah menghirup asam sianida dari buah kepayang.
Kepayang adalah nama tumbuhan yang sebenarnya akrab dengan kita, khususnya penggemar pindang dan rawon. Kepayang tak lain adalah kluwak atau picung (Pangium edule).
Asam sianida terdapat pada buah kluwak, tetapi mudah menguap bila terkena suhu di atas 26 derajat celsius. Selain mengenal manfaat tumbuhan obat, Ervizal juga dituntut mengetahui sifat lainnya, terutama yang toksik atau beracun.
Buah pada biji kluwak dengan kandungan asam glutamat digunakan sebagai pengganti monosodium glutamat (MSG). Kluwak ternyata baik bagi ibu hamil atau menyusui. Ini karena kandungan zat besi biji kluwak termasuk tinggi. Dilengkapi kandungan vitamin C pula sehingga menjadi antioksidan yang baik.
Manfaat lain juga dapat dipetik dari daun kepayang. ”Orang Melayu dulu sering membawa daun kepayang untuk melaut. Daunnya bisa mengawetkan ikan tangkapan,” kata Ervizal.
Menjelaskan kedawung dan kepayang hanya contoh cara Ervizal menjelaskan tentang tumbuhan obat dengan menarik. Begitu pula untuk tumbuh-tumbuhan obat lainnya.
Mengembalikan pengetahuan tumbuhan obat, bukanlah hal rumit. Bagi Ervizal, ancaman kepunahannya yang sekarang harus diwaspadai. ”Masyarakat dengan berbekal pengetahuan tentang tumbuhan obat makin mampu diajak melestarikan hutan,” katanya.
Bagian Konservasi Keanekaragaman Hayati pada Fakultas Kehutanan IPB, hingga 2007 mendefinisikan 2.039 spesies tumbuhan obat tropika. Sebelumnya, Ervizal pernah menuangkannya ke dalam Buku Acuan Umum Tumbuhan Obat Indonesia untuk enam jilid, yaitu jilid VI hingga XI pada tahun 2001-2004.
Jilid I hingga V buku tersebut digarap tim Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Buku acuan tumbuhan obat tropika sampai 11 jilid itu sudah selesai disusun. Tetapi, sampai sekarang belum bisa dicetak untuk umum.
 
 
 
Sumber : Kompas Cetak

0 komentar:

Posting Komentar